Jumat, 01 Juli 2011

AL’ AAM DAN AL KHASH

AL’ AAM DAN AL KHASH
PENDAHULUAN

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, Zat maha Rahman, yang telah mewajibkan kepada umat Islam yang beriman untuk terus menerus mencari ilmu pengetahuan. Shalawat seiring salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Insan pilihan pembawa kebenaran penegak panji Tuhan, Nabi Muhammad SAW.
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Di antara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut, ada dua point penting yang keduanya harus diketahui secara mendalam oleh seorang calon Mujtahid. Dua hal itu adalah tentang lafadz ‘am dan lafadz khas serta dalalahnya. Insya Allah dalam makalah sederhana ini keduanya akan dibahas. Namun perlu diketahui bahwa rangkaian kata dan untaian kalimat yang menjelaskan ke dua hal tersebut bukan dari penulis sendiri tetapi hasil transfer dan kutipan dari pendapat beberapa pakar Ushul Fiqh.

A.  AL’ AAM (Umum dan Petunjuknya) 
a.  Definisi Al’ aam
Al’ aam (keumuman) ialah lafal yang menunjukan pengertian yang meliputi seluruh satuan pengertian yang dipahami, seperti :
¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz
Artinya : “Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian” . (Qs. Al – Ashr : 2)
   
b.  Lafal Al’ aam
1         1.  Lafal “kull” dan jamii.
2         2.  Lafal yang mufrad (tunggal) di ma’rifatkan dengan “Al” al – Jinsiyyah.
3         3. Jama’ (plural) yang di ma’rifatkan dengan “Al” al – Jinsiyyah.
4         4.  Isim maushul (kata sambung).
5         5.  Isim syarat.
6         6.  Isim nakirah (umum) yang di nafikan.

c.  Macam - Macam Al’ aam
Dari penelitian terhadap nask menunjukkan bahwa al’ aam dibagi menjadi 3 macam.
1. Al’ aam yang dimaksudkan adalah umum secara pasti yaitu al’ aam yang disertai alasan yang dapat menghilangkan kemungkinan takhshih.
2. Al’ aam yang dimaksud khusus secara pasti yaitu al’ aam yang disertai alasan yang dapat menghilangkan ketetapannya atas makna umum dan menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebagian satuannya.
3. Al’ aam yang takhshish1, yaitu al’ aam yang mutlak tidak disertai dengan alasan yang meniadakan kemungkinan takhshish, tidak pula meniadakan petunjuknya atas umum.
______________
1 Menurut kelompok mazhab Hanafi, al’ aam yang tidak ditakhshish adalah pasti dalam keumumannya. Dan jika ditakhshish maka petunjuknya menjadi dugaan.






d.  Takhshish Al’ aam
Takhshish al’ aam menurut istilah Ulama Ahli Ushul adalah menjelaskan bahwa yang dimaksud al’ aam menurut syar’i pada mulanya adalah sebagian satuannya, tidak seluruhnya.
Dalil takhshish
Dalil takhshish kadang-kadang tidak terpidah dari lafal nash yang umum seperti masih sambung dan seperti bagian darinya, dan kadang-kadang terpisah dan berdiri sendiri dari nash yang umum. Diantara dalil yang sambung dan tidak berdiri sendiri yang paling jelas adalah ‘Istitna” (pengecualian), syarat, sifat dan ghayah (tujuan akhir).
Perkecualian misalnya firman Allah swt dalam ayat madaniyah setelah memerintahkan untuk menulis transaksi hutang piutang yang tidak tunai.
HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s?
Artinya : “…kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kami jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa lagi bagi kamu (jika) tidak menulisnya. (QS. Al-Baqarah : 282)


B.  AL KHASH
a.  Definisi al-khash
Jika dalam nash terdapat lafal yang khusus, maka hukumnya yang di tetapkan secara pasti atas yang di tunjukkanya selama tidak ada dalil yang mentakwilkan dan menghendaki makna yang lain. Jika terdapat makna yang mutlak, maka penetapan hukum harus secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya.

C.  MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.
Muqayyad (terikat) adalah perkataan yang menunjukan satu objek atau beberapa objek terbesar dengan ikatan menurut lafal.

a.  Mengartikan Mutlaq atas Muqayyad



Dalam tasyri terdapat mutlaq dan muqayyad hal ini ada beberapa macam :
Pertama : Sama dalam hukum dan sebabnya.
Firman Allah dalam khurafah sumpah :

`yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr&
Artinya : “ Maka barang siapa yang tidak mendapatkan budak hendaklah berpuasa 3 hari. (Qs. Al – Baqarah : 196)

Pengertian mutlaq dengan yang muqayyad dengan arti yang dimaksud dengan mutlaq adalah muqayyad secara pasti (harus).
Maka muqayyad wajib menjelaskan maksud dari mutlaq, bukan membatalkannya, Karena ia menyertainya. Bila terjadi muqaranah (kebersamaan), maka pemahamannya wajib dengan jalan naskh bukan penjelasan Abu Hanifah.

Kedua : Sebabnya berbeda. Seperti dalam kaffarah zhihar dan pembunuhan.
Allah SWT berfirman mengenai kaffarah yang pertama (zhihar)
㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ
Artinya : “Maka hendaklah ia membebaskan seorang budak sebelum keduanya bercampur. (Qs. Al – Mujadalah : 3)

Mengenai kaffarah yang kedua (pembunuhan)
㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB 7poYÏB÷sB


Artinya : “Maka hendaklah ia membebaskan seorang budak yang mukmin”. (Qs. An-Nisaa’ : 92)

Sebabnya berbeda yaitu dalam ayat pertama keinginan kembali setelah zhihar2 dan dalam ayat yang kedua pembunuhan secara tidak sengaja. Dalam segi ini tidaklah mutlaq diartikan sebagai muqayyad menurut Ulama Hanafi tetapi diamalkan secara mutlaq pada tempatnya dan muqayyad pada tempatnya. Maka wajiblah dalam kaffarah pembunuhan melepaskan budak mukmin dan dalam kaffarah zhihar membebaskan budak secara mutlaq baik mukmin atau kafir.
Ketiga : Hukumannya berbeda, seperti perkataan seseorang kepada bawahannya, “Berilah seseorang budak dan lepaskan seorang budak mukmin”. Dalam segi ini tidaklah mutlaq diartikan sebagai muqayyad berdasarkan kesepakatan, kecuali jika ada kebutuhan mendesak.
Keempat : Pemutlakan dan pengikatannya karena sebab itu sendiri. Seperti dalam hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw, mewajibkan zakat fitrah dalam bulan Ramadhan atas umat manusia satu sha3 (2,5 kg) kurma atau satu sha gandum atas setiap orang merdeka atau budak laki-laki dan perempuan dan orang-orang muslim.
Dari segi ini Ulama Hanafi berkata : Tidak ada pengertian mutlaq diatas muqayyad, maka diamalkan dengan masing-masing nash sehingga setiap jiwa merupakan sebab dalam kewajiban zakat fitrah.
______________
2 Zhihar adalah menyamakan punggung istri seperti punggung ibu kandung, dengan maksud tidak boleh menggauli istri’a sebagai mana dia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat jahiliyah kalimat zhihar sama artinya mentalak istri.
3 Sha sama dengan 2,5% zakat yang harus dikeluarkan.








b.  Amr (Amar; Perintah)
Lafal amr adalah hakekat dalam perkataan yang dikhususkan berdasarkan kesepakatan dan majaz (kiasan) dalam perbuatan. Perkataan yang dikhususkan itulah yang lebih dahulu dipahami diwaktu melepaskan lafal amr.
a. Batasan amar
Ulama Tauhid ada yang berkata dengan pembicaraan hati dan diantara mereka ada yang menyangkalnya dan tidak mengakui kecuali dengan pembicaraan lafzhi. Dalam ilmu Ushul yang penting adalah lafal-lafal, karena berkisar pada dalil-dalil yang sam’iyah (bisa didengar). Amar (perintah) ialah bentuk (shighat) tertentu atau yang searti dan dimaksudkan untuk melakukan sesuatu secara pasti disertai kekuasaan.
b. Hakekat amar
Bentuk amar terdapat dalam penggunaan bahasa arab untuk banyak arti :
a. Ijab (wajib)
b. Nadab (sunah)
c. Irsyad (bimbingan)
d. Ibahah (pembolehan)
e. Tahdid (ancaman)

c.  Nahi (Larangan)
Nahi ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengann cara penguasaan dan bentuknya : “Jangan lakukan” dan sebagainya. Pengertian bentuk nahi ini sama maksudnya dengan bentuk amar. Apakah ia berarti tahrim (pengharaman), karahah (makruh) atau untuk kadar yang bersekutu antar keduanya.










KESIMPULAN

Pada dasarnya al’ aam adalah hujjah yang bersifat dugaan, karena dugaan hanya ditakhshish dengan dugaan pula. Dan bahwasannya tidak terbukti adanya kontradiktif antara al’ aam dengan al khash yang pasti. Karena syarat kontradiktif antara dua dalil adalah harus sama-sama pasti atau sama-sama dugaan.
Mutlaq dan muqayyad bersandar pada ijma’ bahwa ia adalah qath’i. Mengartikan dengan cara ini hanya terjadi jika kedua dalil menjadi sama ; baik qath’i maupun zhanni.






DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Muhammad al-Khudhari Biek, Ushul al-Fiqih. Jakarta : Pustaka Amani, Cetakan I, Sya’ban 1428 H/September 2007 M.
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. Darul Qalam, Kuwait. Jakarta : Pustaka Amani, Cetakan XI, 1397 H/1977 M.




Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Mempusakai

RUKUN–RUKUN DAN SYARAT–SYARAT MEMPUSAKAI
I. PENDAHULUAN
Islam telah mengatur tentang pusaka mempusakai yang sangat mengedepankan kemaslahatan umat. Sebagai umat islam maka sudah seharusnya kita mempelajari ilmu waris yang merupakan setengah dari semua cabang ilmu, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Rosululloh dalam hadits. Adapun dalam hal ini, Penyaji ingin membahas tentang rukun-rukun, syarat-syarat dan sebab-sebab mempusakai, dengan harapan ilmu tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.

II. PEMBAHASAN
I. RUKUN – RUKUN MEMPUSAKAI
Pusaka- mempusakai itu mempunyai tiga rukun, yakni :
1. Muwarrits (المُوَرِّث) , yaitu orang yang meninggal dunia,, baik mati haqiqi maupun mati hukmy. Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati.
2. Warits (الوَارِث) , yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan hak perwalian dengan si muwarris.
3. Mauruts/tirkah, yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syari’at untuk dipusakai oleh para ahli ahli waris setelah diambil untuk biaya -biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada:
1) Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan.
2) Hak-hak kebendaan.
3) Hak-hak yang bukan kebendaan.
4) Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
A. HAK-HAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
Hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan itu, menurut Jumhurul-fuqaha’ ada empat macam dan tersusun sebagai berikut :
1. BIAYA - BIAYA PERAWATAN (TAJHIZ)
ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan oleh orang meninggal, mulai dari saat meninggalnya sampai saat penguburannya dan biaya-biaya perawatan bagi kerabat yang menjadi tanggungannya.
2. HUTANG - HUTANG
a) Pengertian Hutang
Hutang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Adapun kewajiban-kewajiban terhadap Allah yang belum sempat ditunaikan, seperti mengeluarkan zakat, pergi haji pembayaran kafarah dan lain sebagainya, juga disebut dengan hutang, secara majazi, bukan haqiqy. Sebab kewajiban untuk menunaikan hal-hal tersebut bukan sebagai imbalan dari suatu prestasi yang pernah diterimanya oleh seseorang, tetapi sebagai pemenuhan kewajiban yang dituntut sewaktu seseorang masih hidup.
Hutang-hutang ada dua macam, yaitu :
1) Dainullah (hutang kepada Allah)
2) Dainul-ibad (hutang kepada sesama),yang terbagi menjadi dua, yakni :
a. ‘ainiyah, yakni hutang yang berpautan dengan ujud harta peninggalan.
b. Mutlaqah, yakni hutang yang tidak bersangkutan dengan ujud harta peninggalan, yang di bagi menjadi dua, yaitu :
1. Dainus-shihah, yaitu hutang yang dilakukan diwaktu sehat berdasarkan suatu alat pembuktian atau pengakuanyang dikuatkan dengan sumpah (atas permintaan kreditur).
2. Dainul-maradh, yaitu hutang yang diakui diwaktu sakit atau dianggap dalam keadaan sakit.
b) Tertib Melunasi Hutang - Hutang
Hutang-hutang tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan yang meninggal setelah dikeluarkan untuk membiayai perawatannya. Melunasi hutang-hutang itu adalah termasuk kewajiban yang utama, demi untuk membebaskan pertanggungan jawabnya dengan membatasi dia dengan seseorang diakhirat nanti dan untuk menyingkap tabir yang surga.
3. WASHIYAT
a) Ta’rif Washiyat
1. Fuqaha’ yang bermadzhab Hanafiyah menta’rifkan washiyat ialah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematiandari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.1
2. Fuqaha’ Malikiyah menta’rifkannya ialah suatu perikatan yang mengharuskan kepada si penerima washiyat meng-hak-i 1/3 harta peninggalan si pewashiyat, sepeninggalnya atau yang menghariskan penggantian hak 1/3 harta si pewashiyat kepada si penerima washiyat, sepeninggalnya.2
b) Sumber - Sumber Hukum Washiyat
1. Al-Kitab
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Ma’qul (logika)
c) Hukum Washiyat
Washiyat itu adalah suatu tuntutan syari'at untuk dilaksanakan. Namun demikian jika washiyat tersebut dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang mempengaruhinya, ia tidak terlepas dari ketentuan hukum wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
_____________________
1. Mudharat fil miratsil-muqaran, M. Abdurrahim halaman : 117 yang mengutip dari kitab al-Bahruzzakhar, juz : V, halaman : 302; al-Mawarits fis Syari’atil-Islamiyah, Hasanain M. Mahluf, hal : 14.
2. al-Mu’amalatul-maddiyah, Ali-Fikry, juz : IV, halaman : 187.

d) Batas Pelaksaan Washiyat
Apabila washiyat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah washiyat tersebut dilaksanakan sepeninggal si pewashiyat. Sejak itu si penerima washiyat sudah memiliki harta washiyat dan karenanya dia dapat memanfaatkan dan mentransaksikannya menurut kehendaknya.
e) Washiyat Wajibah
1) Pengertian Washiyat Wajibah
Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan washiyat. Adapun kewajiban washiyat bagi seseorang disebabkan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah.
2) Orang-Orang Yang Berhak Mendapat Washiyat Wajibah
Cucu-cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki maupun pancar perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek/neneknya.
3) Besarnya Washiyat Wajibah
Ialah sebesar yang diterima oleh orang tuanya sekiranya orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 peninggalan dan harus memenuhi 2 syarat :
1) Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pusaka.
2) Orang yang meninggal (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan kepadanya.
4) Pelaksanaan Washiyat Wajibah
Diwajibkan pelaksanaan washiyat wajibah tersebut tanpa tergantung perijinan ahli waris, kendatipun yang meninggal tidak mewashiyatkannya, setelah dipenuhi biaya perawatan dan pelunasan hutang dan washiyat wajibah tersebut harus didahulukan dari pada washiyat-washiyat lainnya. Artinya kalau ada sisa setelah pelaksanaan washiyat wajibah baru dilaksanakan washiyat-washiyat yang lain menurut urut-urutan yang telah di tentukan oleh undang-undang washiyat, baru kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing.
5) Dasar Hukum Washiyat Wajibah
Surat Al-Baqarah ayat 180 menjelaskan bahwa washiyat kepada kerabat-kerabat itu ialah sesuatu usaha yang dapat menenangkan jiwa dengan tidak meyampngkan kemaslahatan-kemaslahatan. Oleh karena itu adalah suatu keadilan bila pemerintah mewajibkan kepada para ahli waris untuk memberikan bagian dari harta peninggalan yang dipusakai kepada cucu-cucu orang yang meninggal yang orang tua cucu-cucu tersebut telah meninggal mendahului orang yang mewariskan, sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari 1/3 harta peninggalan.
4. AHLI WARIS
Sisa harta peninggalan setelah diambil untuk memenuhi 3 macam hak tersebut diatas dihaki oleh para ahli waris yang selanjutnya akan mereka bagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at (akan diterangkan kemudian).

B. HIKMAH PENGURUTAN HAK-HAK YANG BERPAUTAN DENGAN HARTA       PENINGGALAN
  1. Didahulukan biaya-biaya perawatan dari pada hutang.
  2. Didahulukan pelunasan hutang daripada pelaksanaan washiyat.
  3. Didahulukan washiyat dari pada mempusakakan harta peninggalan kepada ahli waris.
C. ORANG-ORANG (LEMBAGA) YANG BERHAK MENDAPAT HARTA PENINGGALAN BUKAN DENGAN JALAN MEMPUSAKAI
Apabila seseorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalannya, maka harta peninggalannyadihaki oleh orang-orang atau lembaga, dengan jalan dengan mempusakai, berturut-turut sebagai berikut:
  1. Orang yang didahulukan nasab oleh si mati kepada orang lain.
  2. Orang yang diberi washiyat melebihi dari sepertiga peninggalan.
  3. Kas perbendaharaan Negara (Baitul-mal).
II. SYARAT - SYARAT PUSAKA - MEMPUSAKAI
1. Matinya Muwarrits (orang yang mempusakakan)
Kematian mawarrits menurut ulama kepada 3 macam :
  1. Mati haqiqy (sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu berwujud padanya.
  2. Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu satu kematian disebabkan adanya vonis hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam kemungkinan antara hidup dan mati.
  3. Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitusuatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras.
2. Hidupnya Warits di saat Kematian Muwarrits
Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits,baik mati haqiqy, mati hukmy, maupun mati taqdiry, berhak mewarisi harta peninggalannya. Namun syarat pusaka mempusakai menimbulkan problema-problema yang perlu dipecahkan karena adanya keraguan tentang hidup atau mati mereka disaat kematian orang yang mewariskan. Problema-problema tersebut antara lain :
  1. Mafqud (orang yang tidak diketahui kabar beritanya).
  2. Anak dalam kandungan.
  3. Orang yang meninggal bersamaan.
3. Tidak Adanya Penghalang-Penghalang Mempusakai
Seseorang tidak dapat mempusakakan harta peninggalannya kepada orang lain atau mempusakai harta peninggalan dari yang lain, selama terdapat salah satu dari 4 macam penghalang mempusakai, yakni:
  1. Perbudakan
  2. Pembunuhan
  3. Perbedaan agama
  4. Perbedaan negara

III. PENUTUP
III.I. Kesimpulan
Dalam pelaksanaan hukum waris, sangatlah penting mengetahui rukun-rukun, syarat-syarat, dan sebab-sebabnya. Hal tersebut dapat menghindarkan kita dari hukum-hukum yang tidak sesuai dengan hukum islam. Karena dalam masyarakat, khususnya di Indonesia, sangat banyak masyarakat yang mengatur pembagian warisnya sesuai dengan adat daerah.
III.2. Referensi
1. Ilmu Waris, Fatchur Rahman, pt. Al-Ma’arif
2. Fiqih Mawaris oleh Ahmad Sarwat, Lc.