Jumat, 01 Juli 2011

Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Mempusakai

RUKUN–RUKUN DAN SYARAT–SYARAT MEMPUSAKAI
I. PENDAHULUAN
Islam telah mengatur tentang pusaka mempusakai yang sangat mengedepankan kemaslahatan umat. Sebagai umat islam maka sudah seharusnya kita mempelajari ilmu waris yang merupakan setengah dari semua cabang ilmu, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Rosululloh dalam hadits. Adapun dalam hal ini, Penyaji ingin membahas tentang rukun-rukun, syarat-syarat dan sebab-sebab mempusakai, dengan harapan ilmu tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.

II. PEMBAHASAN
I. RUKUN – RUKUN MEMPUSAKAI
Pusaka- mempusakai itu mempunyai tiga rukun, yakni :
1. Muwarrits (المُوَرِّث) , yaitu orang yang meninggal dunia,, baik mati haqiqi maupun mati hukmy. Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati.
2. Warits (الوَارِث) , yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan hak perwalian dengan si muwarris.
3. Mauruts/tirkah, yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syari’at untuk dipusakai oleh para ahli ahli waris setelah diambil untuk biaya -biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada:
1) Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan.
2) Hak-hak kebendaan.
3) Hak-hak yang bukan kebendaan.
4) Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
A. HAK-HAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
Hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan itu, menurut Jumhurul-fuqaha’ ada empat macam dan tersusun sebagai berikut :
1. BIAYA - BIAYA PERAWATAN (TAJHIZ)
ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan oleh orang meninggal, mulai dari saat meninggalnya sampai saat penguburannya dan biaya-biaya perawatan bagi kerabat yang menjadi tanggungannya.
2. HUTANG - HUTANG
a) Pengertian Hutang
Hutang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. Adapun kewajiban-kewajiban terhadap Allah yang belum sempat ditunaikan, seperti mengeluarkan zakat, pergi haji pembayaran kafarah dan lain sebagainya, juga disebut dengan hutang, secara majazi, bukan haqiqy. Sebab kewajiban untuk menunaikan hal-hal tersebut bukan sebagai imbalan dari suatu prestasi yang pernah diterimanya oleh seseorang, tetapi sebagai pemenuhan kewajiban yang dituntut sewaktu seseorang masih hidup.
Hutang-hutang ada dua macam, yaitu :
1) Dainullah (hutang kepada Allah)
2) Dainul-ibad (hutang kepada sesama),yang terbagi menjadi dua, yakni :
a. ‘ainiyah, yakni hutang yang berpautan dengan ujud harta peninggalan.
b. Mutlaqah, yakni hutang yang tidak bersangkutan dengan ujud harta peninggalan, yang di bagi menjadi dua, yaitu :
1. Dainus-shihah, yaitu hutang yang dilakukan diwaktu sehat berdasarkan suatu alat pembuktian atau pengakuanyang dikuatkan dengan sumpah (atas permintaan kreditur).
2. Dainul-maradh, yaitu hutang yang diakui diwaktu sakit atau dianggap dalam keadaan sakit.
b) Tertib Melunasi Hutang - Hutang
Hutang-hutang tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan yang meninggal setelah dikeluarkan untuk membiayai perawatannya. Melunasi hutang-hutang itu adalah termasuk kewajiban yang utama, demi untuk membebaskan pertanggungan jawabnya dengan membatasi dia dengan seseorang diakhirat nanti dan untuk menyingkap tabir yang surga.
3. WASHIYAT
a) Ta’rif Washiyat
1. Fuqaha’ yang bermadzhab Hanafiyah menta’rifkan washiyat ialah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematiandari yang memberikan, baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.1
2. Fuqaha’ Malikiyah menta’rifkannya ialah suatu perikatan yang mengharuskan kepada si penerima washiyat meng-hak-i 1/3 harta peninggalan si pewashiyat, sepeninggalnya atau yang menghariskan penggantian hak 1/3 harta si pewashiyat kepada si penerima washiyat, sepeninggalnya.2
b) Sumber - Sumber Hukum Washiyat
1. Al-Kitab
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Ma’qul (logika)
c) Hukum Washiyat
Washiyat itu adalah suatu tuntutan syari'at untuk dilaksanakan. Namun demikian jika washiyat tersebut dihubungkan dengan keadaan-keadaan yang mempengaruhinya, ia tidak terlepas dari ketentuan hukum wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
_____________________
1. Mudharat fil miratsil-muqaran, M. Abdurrahim halaman : 117 yang mengutip dari kitab al-Bahruzzakhar, juz : V, halaman : 302; al-Mawarits fis Syari’atil-Islamiyah, Hasanain M. Mahluf, hal : 14.
2. al-Mu’amalatul-maddiyah, Ali-Fikry, juz : IV, halaman : 187.

d) Batas Pelaksaan Washiyat
Apabila washiyat itu telah cukup syarat-syarat dan rukun-rukunnya hendaklah washiyat tersebut dilaksanakan sepeninggal si pewashiyat. Sejak itu si penerima washiyat sudah memiliki harta washiyat dan karenanya dia dapat memanfaatkan dan mentransaksikannya menurut kehendaknya.
e) Washiyat Wajibah
1) Pengertian Washiyat Wajibah
Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan washiyat. Adapun kewajiban washiyat bagi seseorang disebabkan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah.
2) Orang-Orang Yang Berhak Mendapat Washiyat Wajibah
Cucu-cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki maupun pancar perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek/neneknya.
3) Besarnya Washiyat Wajibah
Ialah sebesar yang diterima oleh orang tuanya sekiranya orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 peninggalan dan harus memenuhi 2 syarat :
1) Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pusaka.
2) Orang yang meninggal (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan kepadanya.
4) Pelaksanaan Washiyat Wajibah
Diwajibkan pelaksanaan washiyat wajibah tersebut tanpa tergantung perijinan ahli waris, kendatipun yang meninggal tidak mewashiyatkannya, setelah dipenuhi biaya perawatan dan pelunasan hutang dan washiyat wajibah tersebut harus didahulukan dari pada washiyat-washiyat lainnya. Artinya kalau ada sisa setelah pelaksanaan washiyat wajibah baru dilaksanakan washiyat-washiyat yang lain menurut urut-urutan yang telah di tentukan oleh undang-undang washiyat, baru kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan bagian masing-masing.
5) Dasar Hukum Washiyat Wajibah
Surat Al-Baqarah ayat 180 menjelaskan bahwa washiyat kepada kerabat-kerabat itu ialah sesuatu usaha yang dapat menenangkan jiwa dengan tidak meyampngkan kemaslahatan-kemaslahatan. Oleh karena itu adalah suatu keadilan bila pemerintah mewajibkan kepada para ahli waris untuk memberikan bagian dari harta peninggalan yang dipusakai kepada cucu-cucu orang yang meninggal yang orang tua cucu-cucu tersebut telah meninggal mendahului orang yang mewariskan, sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari 1/3 harta peninggalan.
4. AHLI WARIS
Sisa harta peninggalan setelah diambil untuk memenuhi 3 macam hak tersebut diatas dihaki oleh para ahli waris yang selanjutnya akan mereka bagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at (akan diterangkan kemudian).

B. HIKMAH PENGURUTAN HAK-HAK YANG BERPAUTAN DENGAN HARTA       PENINGGALAN
  1. Didahulukan biaya-biaya perawatan dari pada hutang.
  2. Didahulukan pelunasan hutang daripada pelaksanaan washiyat.
  3. Didahulukan washiyat dari pada mempusakakan harta peninggalan kepada ahli waris.
C. ORANG-ORANG (LEMBAGA) YANG BERHAK MENDAPAT HARTA PENINGGALAN BUKAN DENGAN JALAN MEMPUSAKAI
Apabila seseorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalannya, maka harta peninggalannyadihaki oleh orang-orang atau lembaga, dengan jalan dengan mempusakai, berturut-turut sebagai berikut:
  1. Orang yang didahulukan nasab oleh si mati kepada orang lain.
  2. Orang yang diberi washiyat melebihi dari sepertiga peninggalan.
  3. Kas perbendaharaan Negara (Baitul-mal).
II. SYARAT - SYARAT PUSAKA - MEMPUSAKAI
1. Matinya Muwarrits (orang yang mempusakakan)
Kematian mawarrits menurut ulama kepada 3 macam :
  1. Mati haqiqy (sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu berwujud padanya.
  2. Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu satu kematian disebabkan adanya vonis hakim, baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam kemungkinan antara hidup dan mati.
  3. Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitusuatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras.
2. Hidupnya Warits di saat Kematian Muwarrits
Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian muwarrits,baik mati haqiqy, mati hukmy, maupun mati taqdiry, berhak mewarisi harta peninggalannya. Namun syarat pusaka mempusakai menimbulkan problema-problema yang perlu dipecahkan karena adanya keraguan tentang hidup atau mati mereka disaat kematian orang yang mewariskan. Problema-problema tersebut antara lain :
  1. Mafqud (orang yang tidak diketahui kabar beritanya).
  2. Anak dalam kandungan.
  3. Orang yang meninggal bersamaan.
3. Tidak Adanya Penghalang-Penghalang Mempusakai
Seseorang tidak dapat mempusakakan harta peninggalannya kepada orang lain atau mempusakai harta peninggalan dari yang lain, selama terdapat salah satu dari 4 macam penghalang mempusakai, yakni:
  1. Perbudakan
  2. Pembunuhan
  3. Perbedaan agama
  4. Perbedaan negara

III. PENUTUP
III.I. Kesimpulan
Dalam pelaksanaan hukum waris, sangatlah penting mengetahui rukun-rukun, syarat-syarat, dan sebab-sebabnya. Hal tersebut dapat menghindarkan kita dari hukum-hukum yang tidak sesuai dengan hukum islam. Karena dalam masyarakat, khususnya di Indonesia, sangat banyak masyarakat yang mengatur pembagian warisnya sesuai dengan adat daerah.
III.2. Referensi
1. Ilmu Waris, Fatchur Rahman, pt. Al-Ma’arif
2. Fiqih Mawaris oleh Ahmad Sarwat, Lc.

Tidak ada komentar: