Jumat, 30 September 2011

Abdullah Bin 'Abbas


ABDULLAH BIN ‘ABBAS

Nama lengkapnya Abdullah bin ‘Abbas (Bahasa Arab عبد الله بن عباس). Dia beroleh kemuliaan sebagai keluarga dekat Rasulullah. Karena dia adalah, putra paman Nabi SAW, Abbas bin Abdul Muthalib. Dia sangat ‘alim tentang Kitabullah (al-Qur’an) dan dapat sangat paham maknanya. Dia menguasai al-Qur’an sampai kedasar-dasarnya, mengetahui sasaran dan segala rahasianya. Ibnu ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum hijriah. Ketika Rasulullah Saw wafat, dia baru berumur 13 tahun. Di usia ambang remaja, dia sudah menunjukkan kelebihan dengan kemampuan menghafal 1.660 hadist yang diterimanya langsung dari Nabi SAW. Hadist-hadist itu dicatat oleh Bukhori dan Muslim dalam kitab Shahih. Sikap taqwanya patut diacungi jempol. Simak kebiasaannya puasa di siang hari dan menegakkan shalat pada malam hari. Beristighfar waktu sahur sambil meneteskan air mata sehingga membasahi kedua pipinya karena takut akan siksa Allah.
            Setelah Ibnu ‘Abbas lahir ke dunia, bayi yang masih merah itu segera dibawa ibunya kepada Rasulullah Saw. Beliau memasukkan air liurnya kedalam kerongkongan bayi itu. Air liur Nabi yang suci penuh brkat itulah yang pertama-tama masuk kedalam rongga perut anak tersebut, sebelum ia disusukan ibunya. Seiring dengan air liur Nabi,maka masuk pulalah kedalam pribadi bayi itu takwa dan hikmah.
“Dan siapa saja yang diberi hikmah, sungguh dia telah diberi kebajikan yang banyak.” (Qs. Al-Baqarah: 269)
Ketika anak itu meninggalkan usia kanak-kanak dan mulai memasuki usia tamyiz, (umur  6 atau 7 tahun), dia tinggal di rumah Rasulullah. Hubungan antara keduanya seperti adik dan kakak yang saling mengasihi. Dia menyediakan air wudhu untuk Nabi SAW. Tak jarang, anak itu ikut sholat di belakang Rasulullah. Jika Beliau berpergian, dia membonceng di belakang. Hebatnya, anak itu dapat menyimpan dalam hati dan pikirannya segala peristiwa yang dilihat dan kata-kata yang didengarnya tanpa perlu alat tulis..
Ibnu Abbas, demikian sapaan akrabnya, mengisahkan peristiwa yang selalu membekas dalam benaknya ketika bersama Nabi SAW. “Pada suatu ketika Rasulullah SAW hendak sholat, memberi isyarat kepadaku supaya berdiri di sampingnya, tapi, aku berdiri di belakang Beliau. Setelah selesai sholat, beliau menoleh kepadaku seraya bertanya, “Mengapa engkau tidak berdiri disampingku ?”. Ibnu Abbas menjawab, “Anda sangat tinggi dalam pandanganku dan sangat mulia untukku, bagaimana aku berdiri di samping Anda.” Maka Rasulullah menadahkan tangannya, lalu berdoa, “Ya Allah, berilah dia hikmah.” Allah memperkenankan doa Rasulullah tersebut. Dia memberi cucu Hasyim tersebut hikmah, melebihi hikmah para ahli hikmah yang besar. Namun, sahabat Rasulullah yang satu ini tak hanya berpangku tangan meski sudah memiliki bekal berupa doa langsung dari Nabi SAW. Ia tak kenal lelah menuntut ilmu sehingga mencengangkan ulama-ulama besar, Masruq bin Ajda’, orang besar ulama Tabi’in berkata, “Paras Ibnu Abbas sangat elok. Bila dia berbicara sangat fasih. Bila menyampaikan hadits, dia sangat ahli.”
Setelah ilmu yang dicarinya sempurna, Ibnu Abbas beralih menjadi guru. Rumahnya berubah menjadi Jami’ ah (Universitas) bagi kaum muslimin. Rumahnya selalu dipenuhi orang yang antri untuk belajar ilmu apa saja. “Siapa yang hendak belajar Tafsir Al-Quran dan Ta’ wilnya suruhlah mereka masuk ?”, Ibnu Abbas bertanya. Maka bergantian bagi mereka yang ingin belajar masalah fiqh, ilmu faraidh, sastra Arab, dan seterusnya. Kemudian Ibnu Abbas membuat jadwal pelajaran guna mencegah orang berdesak-desakkan antri untuk mendengarkan pelajaran yang disampaikannya. Ada hari yang khusus membahas Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh, Ilmu Peperangan (Sejarah peperangan Rasulullah) atau strategi perang, Ilmu Syi’ir, dan Sastra Arab.
Bila ada seseorang yang ingin menyampaikan sebuah hadist yang diperolehnya dari seorang sahabat Rasulullah, maka Ibnu Abbas ringan kakinya untuk mendatanginya. Bila orang itu masih tidur, ia pun rela untuk menunggunya sampai bangun. “Aku bentangkan sorbanku di dekat tangga rumahnya dan aku duduk di situ menunggu dia bangun. Sementara itu angin bertiup memenuhi tubuhku dengan debu tanah.” Kata Ibnu Abbas. Ilmu itu harus didatangi, bukan ilmu yang harus mendatangi. Ibnu Abbas rendah hati dalam menuntut ilmu. Tetapi dia menghormati derajat ulama. Pada suatu hari Zaid bin Tsabit, penulis wahyu dan Ketua pengadilan Madinah bidang Fiqh, Qiraah, dan Faraidh, mendapat kesulitan karena hewan yang ditungganginya bertingkah. Lalu Abdullah bin Abbas berdiri di hadapannya seperti seorang hamba di hadapan majikannya. Ditahannya hewan kendaraan Zaid bin Tsabit dan dipegangnya kendalinya. Kata Zaid, “Biarkan saja, wahai anak paman Rasulullah ?”. Jawab Ibnu Abbas,”Beginilah caranya kami diperintahkan Rasulullah terhadap ulama kami.” Kata Zaid bin Tsabit, “Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya !”, Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid, lalu diciumi oleh Zaid.
“Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah menghormati keluarga Nabi kami” ,kata Zaid. Ibnu Abbas tidak termasuk orang-orang yang hanya pandai berkata tetapi tidak berbuat. Dia senantiasa puasa siang hari dan sholat malam hari. Abdullah bin Mulaikah bercerita, “saya pernah menemani Ibnu Abbas dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah. Ketika kami berhenti di suatu tempat, dia bangun tengah malam, sementara yang lain-lain tidur karena lelah. Saya pernah pula melihatnya pada suatu malam membaca ayat 19 Surah Qaf berulang-ulang sambil menangis hingga terbit fajar. Dia senantiasa menangis tengah malam karena takut akan siksa Allah sehingga air mata membasahi kedua pipinya”.
Karena kealiman dan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu, dia senantiasa diajak bermusyawarah oleh Khalifah Al Rasyidah. Khalifah Umar bin Khatab memujinya “Dia pemuda tua, banyak bertanya (belajar), dan sangat cerdas.” Apabila Khalifah Umar bin Khattab menghadapi suatu persoalan yang rumit, diundangnya ulama-ulama terkemuka termasuk Ibnu Abbas yang muda belia. Bila Ibnu Abbas hadir, Khalifah Umar memberikan tempat duduk yang lebih tinggi bagi Ibnu Abbas dan Khalifah sendiri duduk ditempat yang lebih rendah seraya katanya, “Anda lebih berbobot dari pada kami.” Sampai suatu ketika ketika Khalifah Umar mendapat kritik karena perlakuan yang diberikan kepada Ibnu Abbas melebihi daripada perlakuan kepada ulama-ulama yang tua-tua. “Dia lebih banyak belajar, dan berhati terang,” kata Khalifah Umar menanggapi kritik itu. Meski banyak dimintai nasehat oleh khalifah, Ibnu Abbas tetap tidak melupakan kewajibannya terhadap orang-orang awam. Dibentuklah majelis-majelis Wa’azh dan Tadzkir (pendidikan dan pengajaran). Di antara pengajarannya dia berkata kepada orang-orang yang berdosa , “Wahai orang yang berbuat dosa ! Jangan sepelekan akibat-akibat perbuatan dosa itu, sebab ekornya jauh lebih gawat daripada dosa itu sendiri. Kalau engkau tidak merasa malu kepada orang lain padahal engkau telah berbuat dosa, maka sikap tidak punya malu itu sendiri adalah juga dosa.”
Selain alim lagi cerdas, Ibnu Abbas juga lihai berdiplomasi. Ketika sebagian sahabat memencilkan dan menghina Khalifah Ali bin Thalib, Abdullah bin Abbas minta ijin Khalifah Ali untuk mendatangi mereka. Kata Ali, “Saya khawatir resiko yang mungkin engkau terima dari mereka.” Jawab Ibnu Abbas, “Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.” Maka Ibnu Abbas pun berangkat menemui mereka, lalu bertanya :”Mengapa tuan-tuan membenci Khalifah ?”. Mereka menjawab, “Pertama, karena Khalifah bertahkim (mengangkat hakim) tentang urusan agama Allah, kedua, berperang tapi tidak menawan wanita, dan ketiga, Ali menanggalkan gelar “Amirul Mukminin padahal kaum muslimin yang mengukuhkan dan mengangkatnya.”
Untuk persoalan pertama, Ibnu Abbas menjawabnya dengan membaca firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman ! Janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu ”(Al Maidah: 95).
“Saya bersumpah dengan tuan-tuan menyebut nama Allah; apakah putusan seseorang tentang hak darah atau jiwa, dan perdamaian antara kaum muslimin yang lebih penting ataukah seekor kelinci yang harganya seperempat dirham?”. Maka merekapun menjawab, “Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian diantara kita yang lebih penting.” Kata Ibnu Abbas, “Marilah kita keluar dari pearsoalan ini.” Dan mereka pun kemudian menjawab, “Baiklah, kami tinggalkan masalah itu.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Masalah kedua, Ali berperang tetapi dia tidak menawan para wanita seperti terjadi pada masa Rasulullah. Mengenai masalah ini, sudikah tuan-tuan memperhatikan Aisyah, lantas tuan-tuan halalkan dia seperti wanita-wanita tawanan yang lain. Jika tuan-tuan menjawab, ‘dia bukan ibu kami’, maka tuan tuan telah berlaku kafir . Allah SWT berfirman :
”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka”. (Qs. Al-Ahzab : 6).
Lalu Ibnu Abbas bertanya, “Pilih mana yang tuan-tuan suka. Mengakui ibu atau tidak ?”. Karena itu, kata Ibnu Abbas selanjutnya, “Marilah kita tinggalkan persoalan ini !”. Hasilnya, mereka pun setuju. Selanjutnya, Ibnu Abbas berkata, “Ali menanggalkan gelar “Amirul mukminin” dari dirinya. Sesungguhnya ketika Perjanjian Hudaibiyah ditanda tangani, mula-mula Rasulullah menyuruh menulis “Inilah perjanjian dari Muhammad Rasulullah.” Lalu kata kaum musyrikin, “Seandainya kami mengakui engkau Rasulullah, tentu kami tidak menghalangi engkau mengunjungi Baitullah dan tidak memerangi engkau. Karena itu tuliskan saja nama “Muhammad bin Abdullah”. Rasulullah setuju. “Bagaimana ?”, Tanya Ibnu Abbas, “tidak pantaskah masalah memakai atau tidak memakai gelar Amirul Mukminin itu kita tinggalkan saja ?”. Akhirnya, dengan penjelasan ketiga ini meraka pun menjawab,“Ya Allah, kami setuju.” Hasil pertemuan Ibnu Abbas dengan kaum Khawarij berikut kepandaian Ibnu Abbas berargumentasi menyebabkan 20.000 orang yang membenci Ali kembali masuk ke dalam barisan Ali, dan hanya tinggal seribu orang saja yang masih memusuhi Ali.
Kemasyhuran Ibnu Abbas terbukti kembali, yakni ketika musim haji, Khalifah Mu’a wiyah bin Abi Sufyan pergi haji. Bersamaan dengan Khalifah, pergi pula Abdullah bin Abbas, Khalifah Mu’awiyah diiringi oleh pasukan pengawal kerajaan. Sedang Abdullah bin Abbas diiringi oleh murid-muridnya yang berjumlah lebih banyak dari pada pengiring Khalifah.
Usia Abdullah bin Abbas mencapai tujuh puluh satu tahun. Selama itu dia telah memenuhi dunia dengan ilmu, paham, hikmah dan taqwa. Ketika meninggal, Muhammad bin Hanfiyah turut melakukan sholat atas jenazahnya bersama-sama dengan para sahabat, dan para pemuka Tabi’in.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhoi-Nya. Masuklah ke dalam kelompok jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.”
(Qs. Al-Fajr : 27-30). Wallahu ‘alam bishshowab.

DR. ABDURRAHMAN RA’FAT BASYA : KEPAHLAWANAN GENRASI SHAHABAT RASULULLAH SAW JILID 2, PENERBIT MEDIA DA’WAH JAKARTA 2 MEI 1984 M

Tidak ada komentar: